Satu tahun yang lalu aku mencoba membuat cerita dongeng anak-anak. Ternyata lebih sulit dari yang kuduga. Selain mencoba mengatasi keengganan untuk menulis, writer’s block dan kedisiplinan untuk menyelesaikan cerita sampai akhir, aku juga kesulitan tentang isi ceritanya. Ada seorang penulis besar bilang kira-kira seperti ini, “Kalau hanya cocok dibaca untuk anak-anak, maka cerita itu gagal”. Maka kira-kira maksudnya: selain bisa dinikmati anak-anak, cerita itu setidaknya juga bisa dinikmati orang dewasa. Mungkin. Dan setelah berusaha keras, akhirnya jadi juga. Tak tahu ini cerita bagus atau tidak. Tapi… Ya sudahlah.
---------------------------------------------------------------------------------
The Adventure of Fulan
I
Stage I
Dahulu kala, saat manusia dan hewan-hewan masih hidup
berdampingan dan berbicara dalam bahasa yang sama dan hampir memiliki ukuran
tubuh yang sama, tidak ada yang benar-benar tinggi, besar, kecil atau kerdil,
Tersebutlah seorang pemuda bernama Fulan. Mulanya ia seorang pemuda dari
keluarga kaya dan bahagia. Orangtuanya adalah saudagar dan pedagang yang sangat
menyayangi Fulan. Cita-cita Fulan adalah suatu hari dapat menikahi Putri raja
yang cantik. Namun suatu hari, bencana menerpa. Kapal yang ditumpangi
orangtuanya saat berdagang sekaligus berlibur ke negeri tetangga karam
diterjang badai. Tidak ada yang selamat. Fulan sangat sedih dengan kematian mereka.
Harta peninggalan orangtuanya hanyalah rumah satu-satunya beserta isinya.
Karena tak memiliki sanak keluarga satupun, ia memutuskan menjual rumahnya dan
berkeliling berpetualang mewujudkan mimpinya.
Satu-satunya yang tak ia jual adalah kalung medali bermotif ulat pemberian
almarhum Ayahnya. Ayahnya bilang: ia mendapatkannya saat berdagang di sebuah
negeri jauh.
Petualangan dimulai.
Hutan, Sungai, lembah dan gunung yang luas dan berliku dilaluinya tanpa
mengeluh. Saat ia lelah dan lapar ia beristirahat dan mendirikan tenda serta
mencari buah-buahan. Kalau dulu, segala makanannya disediakan oleh pelayan,
sekarang ia harus mencari sendiri.
Tibalah ia di sebuah
kota kumuh. Dan malang, disana ia dirampok oleh segerombolan kawanan Preman Kecoa. Fulan tak bisa berbuat apa-apa. Harta hasil penjualan rumahnya ikut dirampas. Untunglah kalung medali
tidak ikut terambil. Dengan bermodalkan pakaian yang melekat di badan ia
meneruskan perjalanannya. Sampailah ia di hutan. Ia lalu mencoba mencari
buah-buahan yang bisa dimakan. Ketika ia mencoba mengambil buah di pohon, rantingnya
patah dan ia terjatuh pingsan.
Saat sadar ia ternyata telah berada di sebuah kamar.
Fulan tak mengenal tempat itu dan merasa aneh karena dinding-dindingnya terbuat
dari bahan yang tak ia ketahui. Sepertinya terbuat dari pasir padat. Saat ia
melihat keluar, ternyata ia berada di semacam kastil. Fulan kemudian mengetahui
kastil pasir itu milik Kerajaan Koloni Semut yang dipimpin oleh seorang Ratu.
Disana ia lalu diberi makan dan ditanyai bagaiman nasibnya sampai terlantar
pingsan di tengah hutan. Fulan meceritakan perjalanannya, Akhirnya Fulan
memutuskan menetap di koloni Semut itu
setelah diijinkan tinggal oleh Sang Ratu. Ia sangat takjub dengan kastil
itu yang terletak di tengah hutan, tinggi kokoh sehingga aman dari serangan
makhluk liar dari luar. Kastil itu juga sangat luas dan memiliki ratusan ruangan
yang hampir semuanya terhubung. Ada pula
ruangan besar di mana mereka berkumpul bersama pada waktu-waktu tertentu. Fulan lalu belajar cara beternak, mengambil susu,
menjahit, bertani, mengumpulkan makanan, dan bekerjasama membantu membangun dan
memperbaiki kastil. Tapi hal yang paling disukainya adalah belajar memainkan
senjata dan menjadi prajurit koloni sehingga dapat melindungi teman-temannya. Bila
saling bertemu, mereka saling menggosokkan hidung dan menyapa. Kebiasaan yang
mulanya aneh baginya. Fulan sangat kagum dengan para penghuni koloni yang
sangat kuat dan perkasa, mereka mampu mengangkat beban yang beratnya
berkali-kali tubuhnya. Hal yang tak bisa disamainya. Mereka juga sangat rajin bekerja dan tepat waktu. Dari anak manja
sekarang ia belajar hidup mandiri dan disiplin. Para penghuni koloni sangat ramah dan baik hati padanya dan
sudah dianggap seperti anggota keluarga sendiri. “Kita semua ciptaan Dewata maka kita semua keluarga. Bahkan kau tahu?
Teman kita yang terbang dan membangun sarang di tempat tinggi, yaitu Tawon,
kami adalah keturunan jauh leluhurnya” kata seekor semut ketika berbincang
dengannya. Namun, meski senang
bekerja keras dan rajin, keluarga para koloni semut memiliki kebiasaan buruk. Mereka sering membuang
sampah sembarangan dan serakah dalam mengambil hasil hutan. Salah satu Tetua Semut sering memperingatkan para penghuni koloni agar
tidak merusak hutan dan menebang secara liar karena dapat memancing kemarahan
Dewata. Tapi ia tak dihiraukan dan hanya dianggap orang tua yang bawel.
Bila senja hari, Fulan
sering berada di puncak kastil memandangi hutan dan memikirkan nasibnya kini.
Dari putra saudagar kaya menjadi anggota koloni semut. Dari memiliki keluarga
yang hanya beranggotakan 3 orang, sekarang ia malah memiliki anggota keluarga
ribuan orang yang hidup
harmonis, rapi dan setiap orang mematuhi peraturan-peraturan yang ada. Ia
memegang kalung medalinya dan teringat orangtuanya. Ia sangat sedih, tapi
kemudian ia bersyukur karena untuk pertama kalinya setelah ia meninggalkan
rumah, Fulan merasa mendapatkan keluarga baru. Ia lalu mulai melupakan impian awalnya.
Namun, sekali lagi bencana menerpa. Pada suatu waktu,
hujan deras turun berhari-hari tak kunjung berhenti. Guntur dan petir
menyambar. Air sungai mulai meluap. Para penghuni koloni berusaha sekuat tenaga
memperkokoh kastil mereka mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Tapi air sungai
mulai tak kuat menampung air dan banjir besar datang. Banjir itu ikut serta
membawa pepohonan dan kotoran serta sampah. Tanah perbukitan longsor. Kastil
terendam banjir. Para semut banyak yang tewas dan hilang terseret banjir
bandang. Sisanya mulai mengemasi barang dan mengungsi tak terkecuali Fulan.
“Ini hukuman. Hukuman dari sang Dewata,” teriak seorang Tetua Semut diantara
para semut yang panik. “Dewata memberikan banjir ini karena kita terlalu
serakah dan tamak. Kita menebang pepohonan dan mengambil semuanya dari hutan
tanpa berusaha menanam dan merawatnya kembali. Ini hukuman !. Sudah kukatakan
pada kalian semua!!” teriaknya terakhir sebelum sosoknya
menghilang terseret banjir. Semua yang mendengar dan menyaksikan itu terhenyak, terkejut dan hanya bisa menyesal.
Fulan
juga ikut terseret dari banjir bandang tapi berhasil selamat dari bandang setelah berpegangan pada sebatang
pohon. Ia terdampar jauh dari kastil tapi masih hidup. Fulan sangat sedih
dengan nasibnya dan terutama keluarga barunya. Ia tak mengenal daerah itu tapi
ia memutuskan melanjutkan perjalanannya. Tanpa disadari Fulan, kalung medalinya
yang bermotif ulat tiba-tiba berubah menjadi kepompong.
Stage 1 Ends, Stage 2 Begins
Di tengah perjalanan ia bertemu seeekor Kuda Pengelana
yang kakinya terjepit jebakan beruang. Fulan menolongnya dan membebat kakinya.
Sang Kuda sangat berterimakasih. Mereka berkenalan
dan segera menjadi teman seperjalanan yang sangat akrab. Kuda Pengelana menawarkan dirinya menemani Fulan
berpetualang sebagai balas budi menolong hidupnya. Fulan gembira mendapatkan
teman baru. Mereka melanjutkan perjalanan
berdua dan kemudian sampai di sebuah kerajaan lain yang dipimpin seorang Raja Manusia
bernama Martabumi.
Alkisah, Baginda Martabumi waktu itu jatuh sakit. Tabib istana tidak berhasil menemukan obatnya.
Putri Rania, anaknya sangat sedih melihat keadaan ayahandanaya. Suatu malam,
Baginda Martabumi berkata kepada putrinya, “Rania, anakku, ayah bermimpi berada
dipuncak gunung. Di puncak gunung itu ada sabana rumput, dan ditengahnya tumbuh
taman bunga dengan beraneka ragam bunga yang indah. Namun, satu yang paling
indah adalah bunga Anggrek yang sedang dihinggapi sebuah Kupu-kupu Raksasa.
Kupu-kupu itu berwarna-warni sangat indah. Sedang Bunga Anggrek itu ajaibnya
dapat berubah-ubah warnanya. Berkilau
indah sekali. Ketika kudekati, oh tiba-tiba saja Ayah terbangun. Aku sangat
ingin memilikinya”. Menurut penasihat istana, mungkin inilah petunjuk dari
Dewata bahwa bunga itulah satu-satunya bahan yang dapat mengobati sang Raja.
“Bunga itu bernama Bunga Anggrek Air Mata Pelangi, Baginda. Sangat langka karena hanya tumbuh sekali dalam beberapa
tahun dan ditempat tertentu. Bunga itu juga hanya berumur sehari. Dari
perhitungan almanak saya berdasarkan terakhir kali bunga ini terlihat mekar, bunga itu memang akan
tumbuh lima hari lagi. Mengenai tempat dalam mimpi Baginda, saya rasa
itu adalah Bukit Lima Deretan yang
letaknya cukup jauh dari sini. Kita harus bergerak cepat bila kita ingin
mendapatkannya Baginda.”
Bersambung ke Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Comment..
Semakin banyak komentar yang diberikan semakin semangat saya mengupdate blog saya..
OK Thok!!!