Kafe ini terletak di pinggir jalan raya yang tiap malam sering
mendapat kunjungan penghobi fotografi. Fotografer-fotografer amatir
menyukai jalanan ini karena banyak gedung-gedung tua, trotoar nyaman dan
pohon-pohon rindang rapi berjejer di pinggirnya. Dari dalam kafe kita
bisa melihat lalu lalang kendaraan. Anak-anak muda sering menghabiskan
waktu terutama weekend di dalam kafe sambil melihat performance band
lokal yang cukup terkenal di dalam kota tapi hanya tampil di hari-hari
tertentu. Hanya ada dua orang pengunjung tersisa di kafe ini.
Satu aku mengingatnya sebagai pria yang sering datang akhir-akhir ini
hanya untuk bermain-main dengan laptopnya. Dan satunya sepertinya
pengunjung baru. Tak lama si pengunjung baru bangkit pergi menyisakan
pria itu sendirian. Di luar sudah larut, kukira ia masih lama akan pergi
dan sepertinya tak ada pengunjung baru, maka aku iseng mendengarkan
music via headset. Sampai beberapa lama kemudian, saat ditengah-tengah
suara Barry Manilow mengalun lembut, suara seseorang lain menyela.
Mengagetkanku yang tanpa sadar sedang terpejam menikmat sambil
bersenandung.
“Maaf, mbak Dina” suara lembut seorang pria menyapa.
“ah eh ya, hey! Sori. Eh sore”. Dia pasti melihat nametagku
Seorang laki-laki berkacamata menatapku dengan senyum ramah. Kemeja biru dengan rambut berombak.
“Ini tadi saya menemukan buku di sofa sebelah sana. Sepertinya milik seseorang yang ketinggalan”
“Oh ya silakan mas. Oh. Ini buku yang bagus. Pemiliknya pasti
sedih jika kehilangan. Anda sungguh baik hati menitipkannya pada kami”.
“Anda tahu buku ini? Boleh saya tahu tentang apa?”
“Umm kira-kira tentang seseorang yang iri hati lalu dia berusaha
menyaingi pamor seseorang dengan melebih-lebihkan kemampuannya sampai
suatu saat banyak masalah-masalah menimpanya”
“Wah, bukan teladan kisah yang baik. Mawar tak perlu
mempropagandakan harumnya kan? Akan banyak orang yang bersaksi untuk
itu. Bung karno perna bilang seperti itu”
“Haha benar. Saya setuju”
Kami bertukar senyum dan salam sebelum akhirnya dia pergi.
Saat aku membereskan gelas-gelas di mejanya, seseorang pengunjung perempuan masuk. Aku lalu menyambutnya.
“Selamat Datang di Archemist CafĂ©”
“Umm maaf mbak. Liat ada buku yang ketinggalan disini nggak? Warna sampulnya merah”
Rambutnya hitam. Tipe wajahnya akan membuat lelaki menoleh dua kali. Ia memakai gaun merah.
“Oh iya ada mbak”. Aku melihat dia tersenyum lega.
“Tadi ada seorang pengunjung yang menemukannya. Laki-laki. Baru aja dia pergi. Ini bukunya”
“baru aja? Laki-laki pake kacamata tadi?”
“Iya”
“Oh ya, makasih ya mbak.”
Terburu-buru dia lari ke pintu keluar. Aku keheranan. Mungkin
perempuan ini mau mengucapkan terima kasih pada si laki-laki berkacamata
dan berpikir masih sempat mengejarnya.
Sudah jam 12 malam. Aku memutuskan menutup kafe. Aku sudah sering
mengamati pengunjung keluar masuk kafe ini. Mengetahui bagaimana
secangkir kopi bukan sekadar cangkir kopi. Dalam sesapan pertama ada
kisah yang ingin diceritakan. Dan dalam sesapan terakhir, sering ada
kisah baru. Perempuan dan lelaki tadi mungkin akan berkencan setelah
berkenalan lewat insiden buku ini. Atau mungkin juga tidak. Hanya
sekedar pertemuan sekali lewat. Kopi di kafe ini sering jadi penawar.
Bagi cinta. Yang dengan senang hati datang dan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Comment..
Semakin banyak komentar yang diberikan semakin semangat saya mengupdate blog saya..
OK Thok!!!