Kafe Archemist #1

Kafe ini terletak di pinggir jalan raya yang tiap malam sering mendapat kunjungan penghobi fotografi. Fotografer-fotografer amatir menyukai jalanan ini karena banyak gedung-gedung tua, trotoar nyaman dan pohon-pohon rindang rapi berjejer di pinggirnya. Dari dalam kafe kita bisa melihat lalu lalang kendaraan. Anak-anak muda sering menghabiskan waktu terutama weekend di dalam kafe sambil melihat performance band lokal yang cukup terkenal di dalam kota tapi hanya tampil di hari-hari tertentu. Hanya ada dua orang pengunjung tersisa di kafe ini. Satu aku mengingatnya sebagai pria yang sering datang akhir-akhir ini hanya untuk bermain-main dengan  laptopnya. Dan satunya sepertinya pengunjung baru. Tak lama si pengunjung baru bangkit pergi menyisakan pria itu sendirian. Di luar sudah larut, kukira ia masih lama akan pergi dan sepertinya tak ada pengunjung baru, maka aku iseng mendengarkan music via headset. Sampai beberapa lama kemudian, saat ditengah-tengah suara Barry Manilow mengalun lembut, suara seseorang lain menyela. Mengagetkanku yang tanpa sadar sedang terpejam menikmat sambil bersenandung.
“Maaf, mbak Dina” suara lembut seorang pria menyapa.
“ah eh ya, hey! Sori. Eh sore”. Dia pasti melihat nametagku
Seorang laki-laki berkacamata menatapku dengan senyum ramah. Kemeja biru dengan rambut berombak.
“Ini tadi saya menemukan buku di sofa sebelah sana. Sepertinya milik seseorang yang ketinggalan”
“Oh ya silakan mas. Oh. Ini buku yang bagus. Pemiliknya pasti sedih jika kehilangan. Anda sungguh baik hati menitipkannya pada kami”.
“Anda tahu buku ini? Boleh saya tahu tentang apa?”
“Umm kira-kira tentang seseorang yang iri hati lalu dia berusaha menyaingi pamor seseorang dengan melebih-lebihkan kemampuannya sampai suatu saat banyak masalah-masalah menimpanya”
“Wah, bukan teladan kisah yang baik. Mawar tak perlu mempropagandakan harumnya kan? Akan banyak orang yang bersaksi untuk itu.  Bung karno perna bilang seperti itu”
“Haha benar. Saya setuju”
Kami bertukar senyum dan salam sebelum akhirnya dia pergi.
Saat aku membereskan gelas-gelas di mejanya, seseorang pengunjung perempuan masuk. Aku lalu menyambutnya.
“Selamat Datang di Archemist CafĂ©”
“Umm maaf mbak. Liat ada buku yang ketinggalan disini nggak? Warna sampulnya merah”
Rambutnya hitam. Tipe wajahnya akan membuat lelaki menoleh dua kali. Ia memakai gaun merah.
“Oh iya ada mbak”. Aku melihat dia tersenyum lega.
“Tadi ada seorang pengunjung yang menemukannya. Laki-laki. Baru aja dia pergi. Ini bukunya”
“baru aja? Laki-laki pake kacamata tadi?”
“Iya”
“Oh ya, makasih ya mbak.”
Terburu-buru dia lari ke pintu keluar. Aku keheranan. Mungkin perempuan ini mau mengucapkan terima kasih pada si laki-laki berkacamata dan berpikir masih sempat mengejarnya.
Sudah jam 12 malam. Aku memutuskan menutup kafe. Aku sudah sering mengamati pengunjung keluar masuk kafe ini. Mengetahui bagaimana secangkir kopi bukan sekadar cangkir kopi. Dalam sesapan pertama ada kisah yang ingin diceritakan. Dan dalam sesapan terakhir, sering ada kisah baru. Perempuan dan lelaki tadi mungkin akan berkencan setelah berkenalan lewat insiden buku ini. Atau mungkin juga tidak. Hanya sekedar pertemuan sekali lewat. Kopi di kafe ini sering jadi penawar. Bagi cinta. Yang dengan senang hati datang dan pergi.

Tok. Tok. Ada Bidadari. WOW

`“Tok Tok”
“Siapa disana”
“Bie..”
“Bie..sapa?”
“Bidadari”
“Hah?”
“Selamat Ulang Tahun”
Aku membuka pintu disana. Memang ada bidadari.
Dia tersenyum. Lalu mengangkat tangan kanannya. Bukan Kue Ulang Tahun. Moncong Revolver tepat diarahkan ke dahiku. Klik.
Aku terbangun. Keringetan.

Tuhan, bidadari sebenarnya itu adanya di surga ‘kan ya? Apa aku harus mati dulu kalau mau ketemu bidadari?
02.45. Dini hari. Tadi termasuk mimpi baik atau buruk?
Sunyi.
Hanya ada suara kipas angin yang dibiarkan menyala. Blackberry-ku mengedip merah berkali-kali.
Sms dari teman. Waktunya jam 12 malam tadi.
“Hey, Mas. Selamat Ulang tahun ya”
Dari bidadari lain. Bidadari yang dulu sempat kuandai-andaikan jadi pendamping. Ish. Bidadari dunia nyata. Bukan bidadari dari dunia mimpi tadi.
Tuhan, bidadari sebenarnya itu adanya di surga ‘kan ya? Apa aku harus mati dulu kalau mau ketemu bidadari?
Tak harus begitu. Aku jawab sendiri. Di dunia nyata ternyata banyak bidadari. Bersliweran. Hanya numpang lewat. Cuma buat membekukan orang-orang yang melihatnya. Membuat dunia berhenti sejenak secara relativitas-nya Einstein. Kalau Tuhan bilang, bidadari di surga lebih cantik, aku ga bisa bayangin gimana cantiknya. Kalau bidadari surga yang ribuan kali lebih cantik boleh dipandang sesuka hati, kalau bidadari dunia nyata hanya boleh dipandang sekilas DENGAN tidak sengaja, setelah itu harus memalingkan muka. Perintah yang sering tak kupatuhi. Bidadari di dunia juga tak bisa ditangkap dengan Parfum yang namanya adalah bahasa inggris dari Kapak. Tsk.
Hari ini aku ulang tahun. 24. Secara matematis, umurku 31.536.000 detik. 31.536.001 detik. 3.153.6002. tapi secara teoritis dan teknis aku belum 24. Aku kan lahir jam 10 siang. Bukan jam 0 dinihari. Orang bodoh mana yang mengikrarkan ulang tahun dirayakan pukul 12 malam. Antara amnesia dan insomnia.
Tuhan, bidadari sebenarnya itu adanya di surga ‘kan ya? Apa aku harus mati dulu kalau mau ketemu bidadari? Kapan aku ketemu bidadari duniaku sendiri?
Bersabarlah, Ahmad. Kurasa Tuhan akan menjawabnya begitu.
Shalat Tahajud aja gih. Jodoh kan di tangan Tuhan, makanya minta ama Tuhan dong biar dikasih, biar ga disita Tuhan melulu.
Aku lalu bangkit. Berganti baju lalu berwudhu. Shalat. Damai. Dzikir. Menenangkan.
Setelah ini, biasanya diisi bagian doa.
Aku doa apa ya?
Tuhan, bidadari sebenarnya itu adanya di surga ‘kan ya? Apa aku harus mati dulu kalau mau ketemu bidadari? Saya ga pengen-pengen banget bidadari yang kau janjikan di Surga-Mu itu kok Tuhan. Aku mau yang kau janjikan di dunia saja. Ga mirip-mirip bidadari gapapa kok. Saya Cuma pengen seorang gadis yang jika menatapnya saya tahu saya telah pulang. Jika saya memeluknya, saya tahu saya damai. Entah di Paris, Venesia atau cuma di depan wastafel saya merasa itu romantis. Saya cuma pengen gadis yang beberapa tahun lagi ketika saya tidur kayak tadi tiba-tiba ada yang mengetuk di mimpi saya.
“Tok Tok”
“Siapa disana”
“Bidadari”
“Bidadarinya Sapa?”
“Bidadarimu. Makmummu.”
“Oh ya?  Mau apa?”
“Bangun yuk, sayang. Shalat Tahajud bareng. Kamu jadi Imamku”
“Alhamdulillah”
“Selamat Ulang Tahun, ya”