dipublish di East Java Traveler
3 Maret 2014
3 Maret 2014
Sepasang suami istri pernah tinggal di Desa bernama Kedungras, yang
saat itu merupakan salah satu desa penyuplai padi untuk Kerajaan
Majapahit. Pasangan suami istri itu bernama Joko Pandelegan dan Nyai
Roro Walang Angin. Seiring waktu sebagai balas jasa, mereka kemudian
diajak ke Majapahit untuk dinaikkan derajatnya. Alih-alih menerima
anugerah itu dengan senang hati, mereka malah menolak dengan alasan
ingin mempertahankan Desa Kedungras sebagai sumber penyuplai padi bagi
kerajaan.
Karena mendapat perintah raja, prajurit Majapahit melakukan segala
cara untuk membujuk mereka dimulai dari cara baik-baik sampai cara
memaksa. Kemudian setelah ditangkap, Joko Pandelegan meminta ijin masuk
ke lumbung padi, sementara istrinya meminta ijin mengambil air di sumur.
Tak disangka tiba-tiba keduanya malah menghilang tanpa bekas. Entah
melarikan diri, entah meninggal, entah di telan bumi atau naik ke
nirwana. Yang dalam istilah fenomena saat itu disebut "Moksa"
Atas perintah raja kemudian, untuk memperingati tanda menghilangnya
Joko Pandelegan, bekas lumbung padi tempat tepat di mana Joko Pandelegan
menghilang dibangunlah Candi Pari, sementara tempat menghilangnya Nyai
Roro Walang Angin dibangun Candi Sumur. Desa Kedungras pun berganti nama
menjadi Desa Candi Pari. Candi Pari sendiri berada di Dusun Candi Pari
Wetan, Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur.
Candi Pari merupakan satu – satunya candi peninggalan Kerajaan
Mojopahit yang memiliki pola mirip Candi Khamer (Birma) dan Champa
(Thailand atau Vietnam).Hal ini menurut Syahroni, sumber
EastJavaTraveler sekaligus juru kunci Candi Pari diperkirakan karena
penduduk sekitar Candi Pari saat itu adalah pengungsi dari Kerajaan
Champa sehingga mempengaruhi arsitektur pembangunannya. Seperti banyak
peninggalan Kerajaan Majapahit lainnya, Candi Pari dibuat dari bahan
batu bata merah. Candi ini dibangun sekitar abad 13 dibuktikan dengan
adanya pahatan angka tahun 1293 saka (1371 M) di ambang pintu masuk
candi.
Candi Pari selain bentuk arsitekturnya juga memiliki keunikan lain
disbanding candi lain peninggalan Majapahit. Yakni minimnya hiasan atau
relief. Hiasan yang ada hanya hiasan berupa teratai dan guci Amerta di
kiri kanan bagian candi. Keunikan lainnya adalah tangga pintu masuk.
Jika candi – candi lainnya memiliki tangga masuk yang langsung menuju
pintu candi, maka pada Candi Pari terdapat bidang persegi (batur) yang
menjorok keluar dari bawah pintu dengan tangga di kiri dan kanan. Di
dalam candi sekarang hamper hanyalah ruangan kosong, hanya terdapat
beberapa batu, arca – arca tak utuh serta balok kayu.
Banyak peninggalan Candi Pari saat jaman penjajahan diangkut ke
Belanda, seperti patung-patung tapi sekarang sudah disimpan di Museum
Nasional di Jakarta. Pemugaran pun sempat dilakukan pada tahun1994-1999.
Dengan perbaikan tambal sulam penambahan batu bata baru yang umumnya
sekarang dicirikan terlihat hitam dan berlumut.
“Mengapa bisa terlihat seperti itu, kalau menurut saya sendiri batu
bata lama memang benar-benar batu bata, mungkin buatnya tidak pakai
campuran, 100% tanah liat asli dan pembakaran sampai matang. Kalau (batu bata) yang
baru banyak campurannya terutama sekam kulit padi yang kasar dan pasir,
dan pembakaran tidak sampai 100%.” pungkas Syahroni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Comment..
Semakin banyak komentar yang diberikan semakin semangat saya mengupdate blog saya..
OK Thok!!!